RUU Desa Versi DPD Posisikan Desa Sebagai “Negara Kecil”
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa. “Seluruh kompleksitas perdesaan diperhatikan hati-hati sehingga rancangan ini nantinya menjadi peraturan yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa dan Indonesia umumnya,” ujar Wakil Ketua Komite I DPD Eni Khairani.Membacakan Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Komite I DPD pada Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/7), Eni meminta persetujuan Sidang Paripurna DPD untuk menyahkan RUU Desa menjadi produk DPD.
RUU Desa versi DPD menjadi salah satu RUU usul inisiatif Komite I DPD bersama RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (RUU Kepegawaian), dan RUU Pertanahan.
Penyelesaian RUU Desa sebagai lanjutan masa sidang sebelumnya, yang mengarah ke penyempurnaan naskah akademik dan draft RUU. Komite I DPD menyepakati Naskah Akadmik dan Draft RUU Desa tanggal 28 Juni 2011 yang diharmonisasi oleh Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD.
“Penyelesaian RUU Desa versi DPD sangat penting karena salah satu bagian revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyusul RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan RUU Pemerintahan Daerah yang disahkan beberapa waktu lalu,” ujar Eni.
Beberapa isu utamanya ialah RUU Desa versi DPD memosisikan desa sebagai “negara kecil”. “Negara kecil di sini bukan berarti ‘ada negara di dalam negara’ tetapi karena semangat memosisikan desa di garda terdepan, terbawah, dan terdekat masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, pengaturan desa berdasarkan atas asas rekognisi, asas delegasi, dan asas subsidiaritas; mengakui dan melestarikan sejarah, sosial-budaya, geografis, dan sumberdaya desa; menjamin hak dan kesempatan desa mengambil keputusannya berdasarkan prakarsa masyarakat; mewujudkan pengelolaan desa yang partisipatif, bertanggung jawab, terbuka, dan menjamin kesetaraan bagi setiap orang.
RUU Desa versi DPD juga memberi kepercayaan dan kesempatan kepada desa mengembangkan inisiatif dan potensinya, meningkatkan aset dan akses warga desa terhadap sumberdaya alam, pelayanan publik, dan anggaran negara untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang merata, membagi keragaman desa menjadi dua tipologi, yaitu desa asli dan desa swapraja; serta dana alokasi desa minimal 5% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penyelesaian program Komite I DPD saat ini karena membentuk tim kerja (timja), antara lain Tim Kerja RUU Desa yang diketuai Amang Syafruddin, Tim Kerja RUU Kepegawaian (Jacob Jack Ospara), Tim Kerja RUU Pertanahan (Rahmat Shah), Tim Kerja RUU Keamanan Nasional (Farouk Muhammad), Tim Kerja Pengawasan Administrasi Kependudukan (Said Ahmad Fauzi Bachsin), Tim Kerja Otonomi Khusus Papua (Paulus Yohannes Summino), dan Tim Kerja Perbatasan Negara (Ferry FX Tinggogoy).
RUU Kepegawaian
Mengenai RUU Kepegawaian versi DPD, beberapa isu utamanya adalah menjadikan UU Kepegawaian sebagai “aturan antara” peraturan kepegawaian dan peraturan lainnya, seperti UU Pemerintahan Daerah dan UU Kebebasan Informasi Publik; mengoreksi ketidakefektifan dan ketidakefisienan aturan yang mengakibatkan penyimpangan akibat pelaksanaan UU Kepegawaian, meredefinisi dan mengategori penyelenggara negara beserta unsur-unsurnya, menjadikan UU Kepegawaian sebagai payung kebijakan pengaturan pegawai sipil agar undang-undang sektoral tidak turut mengaturnya, serta mengunifikasi peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian yang berlaku.
Kemudian, melindungi pegawai negeri sipil (PNS) dari kepentingan politis praktis melalui manajemen berbasis kinerja (standar kompetensi jabatan, standar kinerja, penilaian kinerja, reward and punishment, dan sebagainya) termasuk sanksi bagi pelaku praktik politisasi birokrasi; pembentukan Komisi Kepegawaian Negara (KKN), penetapan dan penegasan pejabat pembina kepegawaian adalah pejabat karier tertinggi (sekretaris jenderal, sekretaris daerah, wakil menteri, wakil kepala daerah), dan sanksi bagi pejabat yang menarik PNS atau birokrasi ke politik praktis.
RUU Kepegawaian versi DPD juga mengatur pengelolaan kepegawaian dan implementasi kebijakan sejumlah aturan UU 43/1999 bahwa pembinaan PNS merupakan karir tertutup dalam negara, sehingga mungkin terjadi perpindahan dan promosi jabatan antarkementerian/lembaga/provinsi/kabupaten/kota; pegawai negeri berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Instansi yang bertanggungjawab melakukan pengawasan implementasi kebijakan dalam pengelolaan kepegawaian adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Negara dan Reformasi Birokrasi ((Kem PAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Komisi Kepegawaian Sipil (KKS).
Selain itu, RUU Kepegawaian versi DPD mengatur pengusulan formasi PNS harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi yang didahului analisis beban kerja (ABK) dan seleksi dua tahap (tahap nasional dan tahap khusus/sesuai formasi setiap instansi), remunerasi berdasarkan prinsip 3P + L (pay for perform, pay for position, pay for person, pay for living cost) yang sistemnya disusun berdasarkan gradasi yang obyektif dan proporsional; menyederhanakan prosedur pemberhentian pegawai melalui implementasi manajemen kinerja dan ketegasan penetapan usia pensiun, penegakan disiplin pegawai negeri yang melekat pada atasan langsung yang didukung penerapan sistem manajemen kinerja dan pembentukan lembaga kode etik, pengaturan terhadap PNS yang berkarier di politik yang memperhatikan aspek fairness, terutama pejabat politik; serta pengaturan jenjang kepangkatan anggota TNI/Polri yang reformatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar